![]() |
Foto: I Made Pria Dharsana |
Oleh:
I Made Pria Dharsana (Praktisi, P3ATI, Dosen Fakultas HUkum Universitas Warmadewa, Bali)
email: imadepriadharsana@gmail.com
BALI | ErakiniNews.Com - Problematika hukum pertanahan sepertinya selalu menjadi isu yang sensitive dan actual dari tahun ke tahun tahun, seiring bertambahnya jumlah penduduk di Indonesia, kesdaran masyarakat dan semakin meluasnya akses masyarakat memperoleh tanah sebagai modal dasar dalam berbagai kepentingan. Mencermati lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 Tentang Cipta Kerja yang telah dirubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang.Cipta dimana dalam Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 Warga Negara Asing (WNA) bisa memiliki unit satuan rumah susun (apartemen) yang disirikan diatas Hak Guna Bangunan (HGB) sungguh mengagetkan dan hingga kini masih menjadi debatebel di kalangan para ahli hukum. Inilah ruang baru perdebatan hukum pertanahan. Dan dari sini terkuak bahwa “Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun” selain warga Negara Indonesia, WNA juga diperbolehkan memiliki rumah susun, benarkah demikian?
Menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang - BPN RI, Sofyan Djalil1 seperti yang kami dikutip dari CNN (7/10/20) silam, menjelaskan bahwa alasan diperbolehkannya Warga Negara Asing (WNA) memiliki unit rumah susun atau apartemen dalam Undang-undang Cipta Kerja (UU Ciptaker), dengan alasan, bahwa pemberian hak milik satuan atas rumah susun (sarusun) kepada WNA tersebut tidak melanggar ketentuan yang ada dalam Undang-Undang Pokok-Pokok Agraria Nomor 5 Tahun 1960 (UUPA) lantaran apartemen berbeda dengan rumah tapak atau landed house. Di samping itu, dalam kepemilikan rusun atau apartemen, toh tanah yang dimiliki bersama oleh tiap pemilik unit sehingga luas tanahnya tidak akan signifikan dibandingkan dengan rumah tapak. Selain itu, hak milik atas sarusun yang diberikan kepada WNA tidak termasuk hak kepemilikan tanah bersama. Undang Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja memberikan memiliki sarusun yang didirikan diatas Hak Guna Bangunan kepada Warga Negara Asing (WNA. Status Hak Guna Bangunan diberikan, karena menurut Menteri Agraria dan Tata Ruang, Sofyan Djalil, ketentuan sebelumnya menghambat orang asing bekerja di Indonesia.
Hanya saja, di sini perlu kita diluruskan, bahwa ketentuan sebelumnya tidaklah menghambat maupun melarang WNA untuk memiliki hunian di Indonesia. Hanya saja alas hak tanahnya dibatasi sepanjang hak pakai dengan jangka waktu selama 30 tahun, dapat diperpanjang 20 tahun, dan diperbarui 30 tahun (total 80 tahun) yang ada di UU No.5/1960 jo. PP No. 103/2015. Namun demikian menurut penulis menjadi tidak jelas karena para ahli hukum berpandangan, di dalam hukum tanah Nasional Indonesia dikenal adanya asas “Larangan Pengasingan Tanah” (gronds verponding verbrood), yakni adanya larangan kepemilikan tanah dengan hak selain hak pakai untuk dimiliki oleh WNA. Dan konsekuensi dari asas tersebut adalah WNA tidak dapat memiliki tanah dengan status Hak Milik , Hak Guna Bangunan di Indonesia (hanya diperbolehkan dengan Hak Pakai).
Hal tersebut diatur dalam pasal 42 dan 45 UU No. 5/1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria; pasal 39 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan Hak Pakai Atas Tanah; PP No. 41/1996 tentang Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal Atau Hunian Oleh Orang Asing Yang berkedudukan di Indonesia. Selanjutnya, dengan diundangkannya PP No. 103/2015 (Lembaran Negara No. 325/2015), yang mengatur mengenai “Kepemilikan Rumah Tempat Tinggal Hunian Oleh Orang Asing (WNA) Yang berkedudukan di Indonesia)” pada tanggal 28 Desember tahun 2015, maka ketentuan di dalam PP No. 41/1996 dinyatakan dicabut dan tidak berlaku. Lain halnya dengan Warga Negara Indonesia (WNI) yang mempunyai Hak Milik dan setelah berlakunya UU ini, maka yang kehilangan kewarganegaraannya wajib melepaskan hak itu dalam jangka waktu satu tahun sejak diperolehnya hak tersebut atau hilangnya kewarganegaraan itu. Dan jika sesudah jangka waktu tersebut lampau Hak Milik itu tidak dilepaskan, maka hak tersebut hapus karena hukum dan tanahnya jatuh pada negara, dengan ketentuan bahwa hak-hak pihak lain yang membebaninya tetap berlangsung.
Penulis juga menilai, tak bisa dipungkiri bahwa lahirnya klaster pertanahan terkait Sarusun ini sebenarnya tidak mengacu pada UU sebelumnya, yaitu UU Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun, dan UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA yang secara hirarki hukum yang benar seharusnya UU Cipta Kerja dibuat untuk merevisi, menghapus, atau mengubah UU yang sudah ada sebelumnya. Namun pemerintah beranggapan, kepemilikan satuan rumah susun berbeda dengan aturan kepemilikan rumah tapak atau landed house. Oleh karenanya, pembaca perlu memahami bahwa UU Cipta Kerja mengizinkan WNA hanya memiliki hak ruang, bukan memiliki tanah.
Untuk diketahui pula, UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang UUPA pasal 21 ayat (1) menyebutkan bahwa hanya warga negara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik. Kemudian ayat (2) mencantumkan, orang asing yang sesudah berlakunya UU ini memperoleh hak milik karena pewarisan tanpa wasiat atau percampuran harta karena perkawinan. Selain itu, hak-hak atas tanah bagi orang asing ditegaskan dalam Pasal 42 UUPA jo. Pasal 49 PP No. 18/2021 yaitu Hak Pakai.42 Pasal 45 UUPA yaitu Hak Sewa dan Pasal 67 Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 yaitu Hak Milik Satuan Rumah Susun.yang didirikan diatas HGB.
Ketiga ketentuan tersebut diatas memberikan hak menguasai tanah bagi orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, atau badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Disamping itu, pada Pasal 55 ayat (2) UUPA juga menetapkan terkait Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Guna Bangunan (HGB) hanya terbuka kemungkinannya untuk diberikan kepada badan-badan hukum yang untuk sebagian atau seluruhnya bermodal asing, jika hal itu diperlukan oleh undang-undang yang mengatur pembangunan Nasional Semesta Berencana”. Bicara soal hak atas bagi orang asing di Indonesia terlebih dahulu kita harus pahami apa itu hak atas tanah. Hak atas tanah adalah suatu hak untuk menguasai tanah oleh negara yang diberikan kepada seseorang, sekelompok orang, maupun kepada badan hukum baik Warga Negara Indonesia (selanjutnya disebut WNI) maupun warga negara asing (selanjutnya disebut WNA).
Menurut Guru Besar Hukum Pertanahan Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya, Prof. Dr.Erman Ramelan, SH, MS (Aswaja Pressindo, 2015) mengatakan, jika menilik pada asas nasionalitas dalam hukum pertanahan yang diatur dalam UUPA, orang asing tidak diperkenankan memiliki hak atas tanah tertentu sebagaimana diatur dalam pasal 9 ayat (1) UUPA. Asas nasionalitas menegaskan bahwa tidak memungkinkan Warga Negara Asing (WNI) memilki tanah di Indonesia, dan WNA juga tidak mungkin memiliki Hak Milik Atas tanah (Pasal 21 ayat 1 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 30 ayat 1 UUPA) dan Hak Guna Bangunan (Pasal 36 ayat 1 UUPA) . Hak atas tanah yang mungkin dimiliki WNA adalah Hak Pakai dan Hak Sewa Artinya apa, WNA termasuk perwakilan perusahaannya hanya dapat mempunyai hak tanah yang terbatas, selama kepentingan WNA tidak terganggu dan juga perusahaan asing dibutuhkan oleh Negara Republik Indonesia untuk membangun Indonesia, dan hanya sebagai komponen tambahan.
Ditegaskan Eman Ramelan, bahwa dalam konsep pemilikan hak atas tanah Sarusun, tidaklah sepenuhnya menganut asas pemisahan horizontal karena kepemilikan hak atas tanah pada Sarusun merupakan kepemilikan bersama dari seluruh pemegang hak milik atas satuan bangunan rumah susun, bukan merupakan kepemilikan perorangan sebagaimana dianut dalam asas horizontal dalam UUPA. Pemilikan hak atas bangunan maupun tanah tidak dapat dilakukan begitu saja tanpa memperhatikan ketentuan yang diatur undang-undang yang berlaku. Pasal 46 ayat (1) dan (2) UURS menentukan bahwa hak kepemilikan atas Sarusun merupakan hak milik yang atas sarusun yang bersifat perserorangan dan terpisah. Selain pemilikan atas sarusun, hak milik sarusun yang bersangkutan juga meliputi hak pemilikan bersama atas apa yang disebut bagian bersama, tanah bersama, benda bersama, dimana semuanya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dengan pemilikan satuan rumah susun yang bersangkutan.
Menurut hemat penulis, terkait dengan orang asing yang dimaksud sebagai subyek hukum hak atas tanah adalah orang asing yang dianggap berkedudukan di Indonesia, dan orang asing itu kehadirannya di Indonesia memberikan manfaat bagi pembangunan nasional. Dengan ketentuan tersebut maka orang asing tersebut dapat memiliki sebuah rumah untuk tempat tinggal atau hunian. Adapun WNA yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian merupakan orang asing yang mernpunyai dokumen keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. (Vide : Pasal 69 PP No. 18 Tahun 2021). Bahwa rumah tersebut bisa berdiri diatas tanah dengan status Hak Pakai atas tanah negara maupun hak pakai atau HGB diatas Tanah Milik orang lain berdasarkan perjanjian secara tertulis dihadapan PPAT, atau satuan rumah susun yang dibangun diatas bidang tanah Hak Pakai atau HGB atas negara. Rumah yang boleh dimiliki oleh orang asing tersebut terbatas pada rumah yang tidak tergolong pada rumah sangat sederhana dan rumah sederhana. Atau dengan kata lain, yang boleh dimiliki oleh orang asing hanya rumah dalam klasifikasi menengah dan mewah.
Berdasarkan pasal di atas, hak milik atas sarusun dapat diberikan kepada WNA atau badan hukum asing yang mempunyai izin sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan. Izin yang dimaksud telah diatur dalam Pasal 69 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021 tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP 18/2021) yang menyebutkan bahwa : “Orang Asing yang dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian merupakan Orang Asing yang mempunyai dokumen keimigrasian sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Selanjutnya, menurut Ir. Andry Novijandri, selaku Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Bali mengatakan bahwa untuk melaksanakan ketentuan Pasal 187 ayat (2) Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang – Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah telah diterbitkan Keputusan Menteri Agraria dan Tata Ruang – Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 1241/SK-HK.O2/IX/2022 tentang Perolehan dan Harga Rumah Tempat Tinggal atau hunian untuk orang asing sebagai dasar batasan harga pemilikan rumah tapak maupun satuan rumah susun oleh orang asing.
Urgensi peningkatkan iklim investasi yang berdaya saing global, pemerintah telah menerbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang telah dirubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, sebagai payung hukum bagi masuknya investasi, salah satunya dibidang pertanahan melalui kemudahan bagi orang asing dalam memperoleh properti di Indonesia, yang keberadaannya memberikan manfaat, melakukan usaha, bekerja atau berinvestasi di Indonesia. Dan kemudahan dalam memperoleh properti bagi orang asing juga diharapkan berdampak pada peningkatan dibidang pariwisata maupun industri sehingga dapat membuka lapangan kerja bagi masyarakat di Indonesia.(Andry Novijandri, Seminar Bali, 2021).
Untuk itu, dalam upaya mendukung kebijakan Pemerintah, Kementerian Agraria dan Tata Ruang – Kepala Badan Pertanahan Nasional(ATR/BPN) telah ikut merumuskan atau mengeluarkan beberapa kebijakan yang secara khusus memberikan kemudahan bagi orang asing dalam memperoleh property di Indonesia antara lain : orang asing saat ini dapat memiliki Hak Milik Sarusun baik yang diabngun atas tanah HGB atau Hak Pakai. Ketentuan ini sebagaimanan diatur dalam Pasal 144 dan 145 UU No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Tapi, dalam ketentuan sebelumnya, untuk dapat memiliki rumah tempat tinggal atau hunian di Indonesia wajib memiliki ijin tinggal berupa tetap maupun izin tinggal sementara. Adapun status tanah Sarusun, dapat dibangun di atas bidang tanah hak pakai atau HGB di atas tanah negara atau tanah Hak Pengelolaan., (Erizka Permatasari, Hukum Online, 2022) di mana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 145 ayat (1) UUCK yang menyebutkan bahwa : Rumah susun dapat dibangun di atas Tanah : HGB atau HP di atas tanah negara; atau HGB atau HP di atas tanah Hak Pengelolaan. Selain itu, perlu diketahui bahwa kepemilikan sarusun oleh WNA maupun badan hukum asing hanya diberikan di kawasan ekonomi khusus, kawasan perdagangan bebas dan pelabuhan, kawasan industri, dan kawasan ekonomi lainnya. (Tri Jata Ayu Pramest, hukum Online, 2022).
Selanjutnya terdapat batasan-batasan terhadap kepemilikan sarusun oleh WNA atau badan hukum asing, yaitu minimal harga, luas bidang tanah, jumlah bidang tanah atau unit sarusun dan peruntukan untuk rumah tinggal atau hunian. Batasan-batasan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Peraturan Menteri ATR/BPN. Peraturan Menteri yang mengatur batasan-batasan tersebut adalah Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 18 Tahun 2021 tentang Tata Cara Penetapan Hak Pengelolaan dan Hak Atas Tanah (selanjutnya disebut Permen ATR KBPN No. 18/2021).
Satu hal yang tidak boleh dilupakan pemerintah bahwa upaya modernisasi terhadap UUPA Nomor 5 Tahun 1960 ternyata berdampak sangat besar kapada pasar Indonesia. Pasar akan berkembang pesat sehingga dapat memikat lebih banyak investor untuk berinvestasi di Indonesia daripada negara Asia lainnya, seperti Singapura dan Malaysia. Dan kebijakan terkait Sarusun ini penulis berpandangan, pada saat negara-negara seperti Amerika Serikat, Tiongkok, dan Inggris terlihat menutup diri, Pemerintah Indonesia justru mengambil langkah dengan perspektif global. Sepintas penulis menyimpulkan, bahwa meskipun ada peraturan yang memberikan kesempatan WNA untuk memiliki properti, tapi hanya hak ruang. Artinya, dengan kata lain ini mesti dipahami, bahwa orang asing tak bisa membeli rusun sekaligus tanah. Perlu diuraikan disini, bahwa kebingungan kemudian muncul terkait pengaturan hukum dengan penyelundupan dan eksploitasi yang melihat celah hukum dalam kepemilikan tanah dan apartemen yang bukan atau HGB oleh WNI yang menikah dengan orang asing. Termasuk juga permasalahan terkait bagaimana jaminan hak tanggungan. Pertanyaannnya, bagaimana hukum dan pengaturan hukum mengenai penguasaan atas pengelolaan pemanfaatan, penggunaan dan kepemilikan terselubung atas tanah dan apartemen yang menggunakan sewa, penggunaan pinjaman, BOT, dan perjanjian lainnya dalam jangka waktu yang lama? Karena dalam Peraturan Pemerintah hal ini belum diatur dan lemahnya pengawasan atas pemikikan tanah dan rumah yang dikuasai oleh orang asing termasuk melalui sewa atau perjanjian nomine (nomine agrement).
Dr. Ir.Anita D.A.Kolopaking, SH, MH mengingatkan agar pemerintah mewaspadai kemungkinan terjadinya penyeludupan hukum oleh Warga Negara Asing (WNA) dalam hal kepemilikan hak atas tanah oleh WNA dan badan hukum asing. (Alumni, 2013), Pengacara ini menilai terjadinya penyeludupan hukum oleh WNA dan badan hukum asing dikarenakan adanya undang-undang yang melarang pemeberian hak kepemilikan hak atas tanah tertentu bagi WNA dan badan hukum. Pemberian hak atas tanah yang tertinggi yaitu Hak Milik yang diberikan kepada Waga Negara Indonesia (WNI) dan badan-badan hukum tertentu yang hanya bergerak dalam bidang keagamaan, sosial, BUMN, perbankan, sedangkan WNA hanya diberikan Hak Pakai dan Hak Sewa, sedangkan badan hukum komersial diberikan Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU) dan Hak Pengelolaan (HP). Perbedaan perlakukan ini disebabkan oleh sumber hukum tanah di Indonesia berasal dari hukum adat, sehingga perlindungan kepada WNI lebih tinggi, contohnya tanah Ulayat.
Oleh karenanya, menurut Anita Kolopaking, pengaturan hukum yang dapat memberikan suatu kepastian hukum dalam kepemilikan hak atas tanah bagi WNA dan badan hukum komersil agar perbedaan perlakukan ini tidak menjadikan timbulnya penyeludupan hukum. Sementara Sunaryati Hartono berpendapat hendaknya dalam melakukan pembangunan hukum, yaitu menyempurnakan (membuat sesuatu lebih baik), mengubah agar menjadi lebih baik dan modern dan mengadakan suatu yang belum ada serta atau meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru. (Alumni, 2013).
Lalu, apakah rumah atau tempat tinggal, tanah dan apartemen milik orang asing atau milik warga negara Indonesia yang menikah dengan orang asing dapat disewa atau digunakan oleh pihak lain dengan imbalan pembayaran uang atau bentuk lainnya? Ataukah tempat tinggal milik orang asing dapat digunakan bersama dengan sebagian rumah atau tanah yang dibangun gedung untuk disewakan, dikontrak atau diusahakan untuk usaha lain? Dari potensi permasalahan di atas, sudah saatnya diatur secara jelas. Baik melalui PP maupun permen untuk memberikan kepastian hukum. Pemerintah seringkali berdalih bahwa tujuan Undang–undang Cipta Kerja sendiri adalah mendongkrak investasi asing guna meningkatkan pertumbuhan ekonomi dalam negeri. Terlepas dari tujuan mulia beleid ini, tapi masih terdapat kontroversi terkait pemberian status hak milik rumah susun yang didirikan diatas HGB kepada WNA,.
Adapun kontroversi terkait pemberian status hak milik rumah susun kepada WNA, antara lain ;. Pertama, secara konstitusional, Putusan MK Nomor 21-22/PUU-V/2007 menyatakan khusus mengenai Hak Milik, HGU, HGB, dan Hak Pakai berlaku UU No.5/1960 dan PP No.40/1996. Ketentuan Pasal 143 jo. Pasal 145 UU Cipta Kerja mengenai pemberian Hak Milik Satuan Rumah Susun (HMRS) kepada WNA diatas HGB adalah eror in persona. Pasalnya, dalam UU No.5/1960 dan PP No.40/1996, subjek hukum atas HM, HGU, dan HGB adalah WNI dan Badan Hukum Indonesia. Sedangkan WNA hanya diberikan status Hak Pakai dan Hak Sewa. Kedua, secara yuridis, ketentuan pemberian Hak Milik Rumah Susun kepada WNA diatas HGB tumpang tindih dengan Pasal 19, Pasal 20, dan Pasal 21 UU Nomor 20/2011 tentang Rumah Susun yang menyatakan pemanfaatan tanah milik negara untuk pembangunan rumah susun dilakukan dengan cara sewa atau kerja sama pemanfaatan. Sehingga terdapat konflik norma antara UU Cipta Kerja dan UU Rumah Susun. Ketiga, tidak sejalan dengan asas kenasionalan, asas sosialisme Indonesia, dan asas larangan pemindahan HM kepada WNA sebagai asas hukum agraria dan asas hukum perumahan dan pemukiman. Dalam konteks kepemilikkan tanah, kepentingan dan kebutuhan WNI harus diistimewakan dan diutamakan. .Gagasan untuk mengistimewakan warga negara juga mendapat alasan pembenar secara teori, sebagaimana tersebut dalam nukilan Jhon Chesterman dan Brian Galligan: citizenship has traditionally been an exlusory category because citizens have basic rights and privilages that non citizens do not share (warga negara secara tradisional merupakan kategori eklusif karena warga negara memiliki hak dasar dan hak istimewa yang tidak dimiliki oleh non warga negara).
Keempat, mendegradasi fungsi sosial atas keberadaan tanah negara. Pada prinsipnya, tanah dikuasi negara ditujukan untuk kepentingan warga negara. Bahkan, lewat tanah negara itu dapat dijadikan objek reforma agraria untuk dibagikan kepada rakyat miskin yang tidak punya tanah atau rumah demi mewujudkan keadilan sosial seluruh rakyat Indonesia. Kelima, mengabaikan hasil kajian Badan Pembinaan Hukum Nasional (2013), mengenai Analisis dan Evaluasi Peraturan Perundang-Undangan Tentang Perumahan Rakyat, yang menyebutkan bahwa WNA tidak dapat memiliki sertifikat hak milik rumah susun yang dibangun diatas HGB. Satuan rumah susun yang dibangun diatas alas hak tanah tertentu akan mempunyai karakter yang sama dengan alas haknya. Hak kepemilikan tanah hanya berlaku untuk orang Indonesia, sedangkan hak menghuni dan menempati oleh WNA hanya dimungkinkan dengan cara hak sewa atau hak pakai atas rumah. Negara seperti China, Singapura dan Malaysia saja hanya memberikan land use atau land rent, bukan land right terhadap penguasaan tanah WNA didalam negerinya.
Sumber-sumber :
Undang-Undang dasar Ngegara Republik Indonesia tahun 1945
UU Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun
Undang Undang Nomor 11/2020 tentang Cipta Kerja,
Peraturan Pemerintah Nomor 18 Tahun 2021. tentang Hak Pengelolaan, Hak atas Tanah, Satuan Rumah Susun, dan Pendaftaran Tanah
Bali, Jumat, 30 Juni 2023
3 Komentar
Terima kasih Pak Made, atas pencerahan nya, tulisan ini telah membuka pikiran kita selaku pembaca, ternyata wacana pemerintah terkait kepemilikan Rusun bagi org asing, masih memiliki kelemahan, rentan menimbulkan konflik norma ke depan nya, yg bisa berakibat memunculkan permasalahan baru yg semakin kompleks.
BalasHapusTerima kasih atas ilmunya yang bermanfaat Bapak Pria Dharsana🙏
BalasHapusMaturnuwun Bapak
BalasHapus