Breaking News

Kurikulum Cinta; Identitas Bangsa dan Budaya Masa Depan

Dr.H.Lalu Sirajul Hadi, M.Pd

Oleh Dr.H.Lalu Sirajul Hadi, M.Pd

Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, memiliki wacana dan konsep  visioner, sekaligus substantif, tentang fotret kebangsaan dan kebudayaan masa depan, dalam berbangsa dan bernegara. 


Baginya, setiap lembaga sosial dan institusi pendidikan harus memberikan peran dan andil yang besar dalam turut merawat identitas kebangsaan dan budaya bangsa, dengan menjadikan nilai-nilai agama, dan ikatan moral sosial sebagai metode dalam membangun kesadaran kemanusiaan dan kebangsaan di Indonesia.


Konsep Kurikulum Cinta yang dicetuskan oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar, bisa saja belum memiliki memiliki naskah formil akademik untuk diuji publik,  tetapi secara praksis, konsep dan gagasan itu telah lama menjadi kebutuhan kita dalam berkemanusiaan dan berkebangsaan di Indonesia yang majemuk ini.


Unsur-unsur apapaun yang memiliki motiv kebencian pada segala dimensi kehidupan, harus dikikis dan dihilangkan, apalagi kemudian kebencian itu  berujung pada perpecahan, konflik dan disharmoni sosial. Dinamika dan kompleksitas permasalahan sosial dan dalam kehidupan berbangsa, apapun bentuknya, harus tetap diselesaikan dengan cara-cara yang waras, berperadaban dan bermartabat. Sehingga identitas kebangsaan sebagai bangsa yang saling mencintai, toleran dan moderat tetap menjadi karakter kuat bangsa Indonesia. Yakni bangsa yang tidak tempramental, tidak kasar dan gampang berkonflik, memutus hubungan antar sesama.


Konsep  Kurikulum Cinta yang menjadi gagasan Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, menjadi sangat relevan dan kontekstual jika ditilik dari perspektif Indonesia sebagai bangsa yang multiculture, banyak agama, ragam budaya, kaya bahasa, etnis dan perbedaan-perbedaan lainnya. Potensi perpecahan ditengah perbedaan itu, memang sangat selalu terbuka dan menganga. Jika, perbedaan tidak dimaknai dan dijiwai sebagai anugrah Tuhan Yang Maha Kuasa. Maka, sifat kasih sayang Tuhan kepada hambaNya, adalah manifestasi profetis, bahwa sesama manusia juga harus saling mencintai dan mengasihi, bukan saling menistai dan saling menghabisi. Dalam perspektif Islam, tentang hal ini sudah sangat jelas dan eksplisit dipesankan oleh Nabi Muhammad saw salam hadisnya "Tidak sempurna iman seseorang hingga yang bersangkutan sanggup mencintai orang lain sebagaimana ia mencintai dirinya sendiri'.


Kurikulum Cinta adalah konsep yang menekankan pendidikan berbasis kasih sayang, empati, dan penghargaan terhadap perbedaan. Nilai-nilai tersebut harus menjadi bagian utama dalam sistem pendidikan kita, baik pada lembaga pendidikan formal maupun dalam lingkungan sosial masyarakat, komunitas dan keluarga, termasuk dalam lembaga pendidikan pondok pesantren.


Penting dipahami, bahwa pendidikan agama tidak unsich dipahami sebagai pendidikan yang hanya mengajarkan hal-hal yang bersifat ritual, simbolik formalistik saja. Tetapi pendidikan agama yang diajarkan dilembaga pendidikan formal atau masyarakat, adalah juga pendidikan agama yang diharapkan mampu menanamkan ruh dan semangat saling menghargai, sepirit cinta dan moderasi serta penghormatan terhadap keberagaman.


Secara filosofis dan akademis, Kurikulum Cinta, dapat menjadi salah satu point inti (core), kemana arah dan tujuan pendidikan sesungguhnya dituju, selain tujuan dan orientasi yang bersifat tekhnis.


Menjaga keutuhan dan identias kebangsaan, menjadi tanggung jawab setiap orang dan setiap institusi, secara etik dan moral. Kesadaran membangun fondasi cinta, melalui sikap dan rasa saling menghargai dan toleran antar sesama, adalah modal dan kafital sosial-emosional (berharga) bagi bangsa Indonesia untuk mempertahankan identitas dan kebudayaan masa depannya.


Gagasan tentang pentingnya Kurikulum Cinta oleh Menteri Agama RI Nasaruddin Umar, sekaligus sebagai refleksi kolektif bangsa Indonesia, bahwa perbedaan agama dan keyakinan, tidak lantas membuat bangsa Indonesia tercabik-cabik persaudaraanya. Maka, mengajarkan agama (apapun) kepada siapapun, konteknya adalah tidak pada tujuan menanamkan kebencian, tetapi pada konteks toleransi dan saling menghargai.


Jika dikaji dalam teori organisasi kurikulum, pengembangan Kurikulum Cinta, bisa saja dilakukan secara tematik. Artinya, dapat masuk pada semua materi tema, yang relevan dan kontekstual,  sehingga guru dapat lebih lentur melakukan elaborasi makna (meaningfull learning) daripada fokus kepada teks.


Wallahua'lam.

0 Komentar

Type and hit Enter to search

Close