![]() |
I Gusti Putu Subawa Putra, Ketua PD KMHDI NTB, |
Saya, I Gusti Putu Subawa Putra, Ketua PD KMHDI NTB, menilai bahwa tindakan represif aparat telah menginjak-injak hak masyarakat untuk bersuara. “Penetapan tersangka terhadap massa aksi adalah bentuk pembungkaman aspirasi rakyat. Ini bukan penegakan hukum, ini intimidasi terselubung,” tegas saya dalam pernyataan resmi.
Kapolres Bima tidak hanya gagal membaca situasi demokratis, tapi juga memperlihatkan keberpihakan yang mencolok. Sementara pelaku kriminal berkeliaran bebas, mahasiswa yang menyuarakan kepentingan rakyat justru dikriminalisasi. “Apakah hukum kini hanya berlaku bagi mereka yang menyampaikan pendapat? Sementara para pelaku kejahatan nyata seolah tak tersentuh?” ungkap saya.
Penggunaan Pasal 170 ayat (1) KUHP juncto Pasal 212 KUHP sebagai dasar penetapan tersangka sangat patut dipertanyakan. Aksi demonstrasi dilindungi oleh konstitusi, tepatnya Pasal 28E UUD 1945 dan UU Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum. Sayangnya, hak tersebut kini dilucuti lewat tafsir hukum yang sewenang-wenang.
Langkah Kapolres Bima ini mencerminkan praktik hukum yang tidak adil, bias, dan diskriminatif. Aparat seharusnya menjadi penjaga demokrasi, bukan justru aktor yang mempersempit ruang gerak demokrasi. Ketika hukum dijadikan alat kekuasaan untuk menakut-nakuti rakyat, maka yang lahir bukan keadilan, melainkan ketakutan massal.
Oleh karena itu, kami dari KMHDI NTB dengan tegas mendesak Kapolda NTB untuk mencopot Kapolres Kabupaten Bima dari jabatannya. “Jika aparat tidak bisa membedakan antara pengunjuk rasa dan pelaku kriminal, maka jelas ada yang salah dalam paradigma penegakan hukum kita,” tutup saya. (*)
E_01
0 Komentar