ErakiniNews | Mataram - Deru mesin-mesin woodchipper, hammer mill, sawmill hingga rotary dryer milik masyarakat di beberapa desa di kabupaten Lombok Barat, Lombok Tengah dan Lombok Utara terus bergemuruh. Mesin-mesin ini sedang mengolah kayu menjadi Biomassa berbentuk serpihan kayu (woodchip), bubuk kayu (sawdust) hingga wood pellet dan wood briket.
Masyarakat disana memproduksi biomassa (energi hijau), yaitu sumber energi baru terbarukan (EBT) untuk menggantikan energi fosil yang tidak ramah lingkungan.
Transisi energi terbarukan ini rawan gagal jika ekosistem penyangga seperti hutan dan sungai terus rusak. Pembangunan energi seharusnya meniru skema partisipatif lahan dan pemberdayaan masyarakat agar adil bagi warga dan lingkungan.
Ancaman Alih Fungsi dan Pencemaran
Iwan Balukea ketua Kelompok Masyarakat Biomassa Rinjani Tambora menjelaskan, Biomassa jenis ini sangat bergantung pada bahan baku (raw material) kayu. Tidak bisa mengharapkan dari limbah pertanian, hutan dan industri pengolahan kayu yang terbatas. Tujuan nasional Net Zero Emission (NZE) atau menghapus racun di udara pada tahun 2050 menggunakan Biomassa dapat tercapai secara berkelanjutan (sustain) apabila saat ini dilakukan mitigasi.
Di satu sisi alih fungsi lahan menjadi ancaman serius, sepeti ancaman kekeringan, banjir, hingga krisis air bersih menghantui warga terutama di kota. Titik paling krusial ada di beberapa kawasan baik di pulau Lombok maupun di pulau sumbawa. Saat ini terjadi banyak sekali alih funsi lahan menjadi perladangan liar, berubah sesak oleh properti, vila, hotel, restoran, sampai bangunan komersil yang naik hingga di lereng-lereng curam.
Mitigasi dimaksud adalah melakukan reboisasi, yaitu menanam pohon yang bersifat cepat tumbuh (fast growing), mudah diperbaharui (renewable) dan berkalori tinggi. Pelestarian lingkungan ini selain untuk menyimpan air, pengatur suhu, mencegah tanah longsor, banjir dan erosi tercipta nilai tambah lainnya, yaitu pemanfaatan kayunya sebagai bahan baku biomassa dan daunnya sebagai bahan pakan ternak berprotein tinggi serta bunga kaliandra merah mengandung nektar yang bagus untuk budi daya lebah madu.
Sesuai hasil uji laboratorium, beberapa jenis pohon yang direkomendasikan sangat baik untuk dijadikan bahan baku biomassa adalah Gamal, Kaliandra Merah dan Akasia, kayu-kayu ini berkalori diatas 3.500 kkal/kg, kadar debu, moisture dan asap yang rendah.
Rukun biomassa, menurut Iwan, ada tujuh. Rukun pertama sampai dengan keempat adalah bahan baku. Dilanjutkan dengan teknologi (mesin peralatan produksi) termasuk workshop, sumber daya manusia dan tentunya modal kerja untuk membiayai produksi.
Merujuk kepada kebutuhan nasional biomassa yang berasal dari kayu, dengan ketersediaan bahan baku yang masih sangat terbatas, maka sangat diperlukan penanam secara masif pohon pohan tanaman energi pada lahan-lahan non produktif, lahan kritis dan atau lahan termajinalkan milik masyarakat maupun pemerintah. Kondisi ini merupakan signal ketidakseimbangan antara ketersediaan bahan baku biomassa dan kebutuhan biomassa bagi kelistrikan serta industri lainnya.
Transisi Energi
Sementara itu, transisi energi di Nusa Tenggara Barat menghadapi persoalan mendasar, antara lain, proyek-proyek energi terbarukan seperti PLTU, PLTA, PLTBm dan mikrohidro justru terbangun di atas ekosistem yang rapuh.
Tekanan terhadap lingkungan kian kuat akibat ekspansi industri biomassa dan infrastruktur yang menyingkirkan tutupan hutan di kawasan hulu. Padahal, keberhasilan proyek energi terbarukan sangat bergantung pada kualitas dan ketersediaan bahan baku kayu, serta stabilitas ekosistem. Ketika hutan berubah dan sungai tercemar, energi biomassa pun kehilangan pondasinya.
Iwan menyarankan, restorasi ekosistem mesti jalan sebagai bagian dari strategi transisi energi. “Energi terbarukan harusnya tidak berjalan seperti proyek bisnis biasa. Harus ada perlindungan lingkungan dan pemulihan ruang hidup sebagai prasyarat.
Seharusnya, restorasi ekosistem menjadi bagian inti dari strategi energi hijau. Pemerintah daerah bisa mengadopsi pendekatan jurisdictional restoration, di mana kawasan-kawasan tangkapan air seperti di hulu atau daerah konservasi lakukan pemulihan lewat skema jangka panjang. Seperti, melalui reforestasi, proteksi DAS, dan insentif fiskal ekologis. Pembangkit sebersih apapun akan tetap bergantung pada potensi alam.
Kelompok Masyarakat Biomassa Rinjani Tambora juga mendorong penguatan model desentralisasi energi berbasis komunitas. Skema seperti Kebun Tanaman Energi Terintegrasi oleh warga bisa menjadi jalan keluar dari ketimpangan proyek-proyek besar yang eksploitatif.
Energi Hijau adalah energi yang adil, energi yang terkelola bersama, menghasilkan manfaat nyata bagi masyarakat dan tak memutus siklus hidup alam.
Jika restorasi dan partisipasi tidak jadi prioritas, maka transisi energi hanya ganti alat, bukan ganti cara pikir.
Belajar dari Kebun Tanaman Energi.
Lahan non produktif milik masyarakat yang ditanami pohon-pohon berkalori tinggi seperti Gamal, Kaliandra Merah, Akasia, dan lainnya, yang diintegrasikan dalam satu lahan dengan ternak seperti kambing serta budidaya lebah madu. Daunnya dapat dijadikan pakan hijauan bagi ternak, bunga kaliandra merah baik bagi produksi madu, kotoran ternak bisa digunakan sebagai pupuk, ternak dapat diperdagangkan dan dikonsumsi sendiri dan batang kayunya dijual ke pabrik pengolah biomassa.
Cara panen batang kayu ini dengan menyisakan 30 centimeter batangnya diatas permukaan tanah, agar pohon dapat tumbuh kembali dan dapat dipanen lagi sembilan bulan kemudian. Dengan demikian sirkular ekonomi berjalan pendapatan masyarakat meningkat.
Untuk mencapai cita-cita mulia ini, Kelompok Masyarakat Biomassa Rinjani Tambora (Pokmas Biomassa Rintam) mengajak seluruh lapisan masyarakat dan stake holder dari semua genre yang ada di provinsi NTB untuk Bersama-sama melakukan penanaman pohon yang akan menciptakan Green Economic, Green Company, Green Job hingga Green Life Style, tutup Iwan.
E_01
0 Komentar